JASINGA - Kejutan besar melanda warga Desa Wirajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, setelah mereka mengetahui bahwa lahan yang telah mereka tempati selama puluhan tahun tiba-tiba muncul sebagai bidang terpetakan dalam sistem Badan Pertanahan Nasional (BPN). Penetapan lahan seluas lebih dari 111 hektare itu tercatat pada 10 Desember 2023, tanpa pemberitahuan kepada warga maupun pemerintah desa.


Lahan tersebut mencakup dua kampung yang memiliki sejarah panjang: Cibentang (44 hektare) dan Haurbentes-Barangbang Raya (67 hektare). Warga menyebut bahwa mereka telah tinggal di sana sejak sebelum Indonesia merdeka, menjadikan tanah itu bukan sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari identitas dan warisan keluarga.


Kepala Desa Wirajaya, Muhammad Basit, mengaku tidak mengetahui asal-usul ploting tersebut.


“Kami dari pemerintahan desa sudah menyurati BPN Kabupaten Bogor untuk menanyakan ploting ini keluar dari mana dan untuk apa, karena saya sendiri tidak mengetahuinya,” ujarnya, Jumat (14/11).


Basit juga menegaskan bahwa wilayah tersebut tidak pernah masuk dalam program PTSL, sehingga kemunculan data baru ini menimbulkan kebingungan di tingkat desa.


Dery, pemuda Desa Wirajaya yang aktif mengawal isu pertanahan, menyebut bahwa dugaan awal ploting ini muncul setelah klarifikasi dari BPN pada 2024. Ia menjelaskan bahwa dua bidang tanah dengan koordinat 6.542426° S, 106.429187° E dan 6.542919° S, 106.436646° E tercatat sebagai kawasan perkebunan yang belum memiliki identitas kepemilikan. Dalam sistem hanya tercantum Nomor Induk Bidang (NIB) 00413 dan 00412, tanpa dokumen permohonan atau nama pemilik.


Menurut BPN, berdasarkan peta manual lama, lahan tersebut merupakan bagian dari tanah partikelir era kolonial Belanda, tercatat dalam Vorponding Nomor 130 Tahun 1929. Namun, tidak tersedia informasi mengenai peralihan hak setelah masa penjajahan.


Hingga kini, BPN Kabupaten Bogor masih menunggu arahan dari Seksi Penataan P2 dan Seksi Bidang Fisik untuk menentukan apakah lahan tersebut bisa diproses melalui PTSL atau redistribusi tanah.


Dery menyebut bahwa persoalan ini telah dibawa ke tingkat kabupaten dan dibahas dalam pertemuan pada Juli 2025 bersama BPN, DPKPP, dan instansi terkait. Namun, belum ada kejelasan yang diberikan.


“Dalam pertemuan itu saya meminta BPN menjelaskan dasar munculnya ploting dan tindak lanjutnya. Namun perwakilan BPN belum bisa memberi jawaban karena alasan baru menjabat,” katanya.


Ia juga menyayangkan belum adanya verifikasi lapangan yang dijanjikan satu bulan setelah pertemuan tersebut. Jika tidak ada kejelasan dalam waktu dekat, warga berencana menggelar aksi ke Kantor Pertanahan, DPKPP, dan DPRD Kabupaten Bogor, serta menyampaikan aspirasi ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat.


“Saya rasa perlu menyampaikan hal ini ke Bapak Gubernur, karena kita masih warga Jawa Barat walaupun berada di perbatasan,” tegas Dery.


Ketua RW 03 Kampung Cibentang, Misbah, menambahkan bahwa warga telah tinggal di wilayah tersebut sejak lama.


“Nenek saya saja usianya lebih dari 100 tahun dan lahir di kampung ini,” ujarnya.


Ia juga mengingat bahwa program PTSL sempat dibuka di wilayahnya, namun tidak pernah berlanjut hingga kini.*